PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) mendorong segenap jajarannya di pusat dan daerah untuk tidak hanya bekerja rutin dan standar, tetapi harus secara detail di tengah situasi krisis pangan, energi, dan keuangan global.
“Para menteri, gubernur, bupati, wali kota juga sama, enggak bisa lagi kita bekerja rutinitas. Enggak bisa kita bekerja hanya melihat makronya. Enggak akan jalan. Percaya saya. Makro dilihat, mikro dilihat, lebih lagi harus detail juga dilihat lewat angka-angka dan data-data karena memang keadaannya tidak normal,” ujar Presiden saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8).
Situasi global tersebut juga mendorong terjadinya inflasi yang sekarang menjadi momok di semua negara. Inflasi Indonesia per Juli 2022 berada pada angka 4,94% (year on year). Angka tersebut masih lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Turki yang inflasinya mencapai 79%, Uni Eropa 8,9%, atau Amerika Serikat 8,5%.
Meskipun demikian, Presiden meyakini jika seluruh kepala daerah dapat bekerja sama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) maupun Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP), pemerintah akan mampu mengendalikan inflasi hingga di bawah angka 3%. Presiden juga meminta para kepala daerah bisa mengecek apa yang menjadi penyebab inflasi di daerah masing-masing.
“Saya ingin bupati, wali kota, gubernur, betul-betul mau bekerja sama dengan tim TPID di daerah dan Tim Pengendali Inflasi Pusat. Tanyakan di daerah kita apa yang harganya naik yang menyebabkan inflasi. Bisa saja beras, bisa saja tadi bawang merah, bisa saja cabai, dan dicek. Tim Pengendali Inflasi Pusat cek daerah mana yang memiliki pasokan cabai yang melimpah atau pasokan beras yang melimpah. Disambungkan. Harus disambungkan karena negara ini besar,” jelas Presiden dalam keterangannya, Kamis (18/8).
ia juga mengingatkan bahwa angka inflasi Indonesia yang masih bisa ditahan untuk berada pada 4,94% ialah karena besarnya subsidi untuk energi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp502 triliun. Presiden pun akan meminta Menteri Keuangan untuk menghitung kemampuan APBN pemerintah dalam melanjutkan subsidi tersebut.
“Pertalite, Pertamax, Solar, LPG, listrik, itu bukan harga yang sebenarnya, bukan harga keekonomian. Itu harga yang disubsidi pemerintah yang besarnya itu hitung-hitungan kita di tahun ini subsidinya Rp502 triliun, angkanya gede sekali. Ini yang harus kita tahu. Untuk apa? Untuk menahan agar inflasinya tidak tinggi. Akan tetapi, apakah terus-menerus APBN akan kuat? Nanti akan dihitung Menteri Keuangan,” tuturnya.
Terkait dengan harga pangan, Presiden mengajak semua pihak untuk bersyukur karena harga pangan, terutama beras, di Indonesia masih bisa dikendalikan dan berada pada harga sekitar Rp10 ribu. Harga tersebut jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga beras di sejumlah negara, misalnya, Jepang Rp66 ribu, Korea Selatan Rp54 ribu, Amerika Serikat Rp53 ribu, dan Tiongkok Rp26 ribu.
“Kita juga patut bersyukur baru seminggu yang lalu mendapatkan sertifikat penghargaan dari International Rice Research Institute untuk sistem ketahanan pangan dan swasembada beras. Ini yang harus kita pertahankan dan tingkatkan sehingga bukan hanya swasembada beras, melainkan juga nanti bisa ekspor. Ikut mengatasi kelangkaan pangan di beberapa negara karena sudah mengerikan sekali,” ungkapnya.
Turut hadir dalam acara tersebut, yakni Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua TPIP Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Hadir pula dalam acara tersebut, yaitu Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. (*ls/Jur/Pre/Ded)
Join the Conversation