MAHKAMAH Agung (MA) menyelenggarakan Dialog Yudisial tentang hak perempuan dan anak pascaperceraian guna merayakan Hari Anak Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (27/7)-Kamis (28/7). Acara ini merupakan kerja sama Mahkamah Agung dengan Federal Circuit & Family Court of Australia (FCFCoA).
Dalam pidato kuncinya, Ketua Mahkamah Agung Prof Dr H M Syarifuddin, S.H., M.H., menyampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) 2018 menemukan bahwa 95% dari perkara perceraian yang diputus setiap tahunnya di Indonesia melibatkan anak berusia di bawah 18 tahun.
Dengan menggunakan asumsi bahwa di Indonesia setiap keluarga rata-rata memiliki dua orang anak, diperkirakan lebih dari 900 ribu hingga 1 juta anak setiap tahunnya terkena dampak dari perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan. Dengan jumlah sebesar itu, dapat dibayangkan bahwa dampak dari perceraian yang dialami anak-anak tersebut dalam jangka panjang akan berpengaruh juga terhadap susunan dan tatanan sosial masyarakat.
Meski jumlah anak yang terdampak perceraian setiap tahunnya besar, Ketua Mahkamah Agung menyayangkan bahwa pelaksanaan putusan perceraian, terutama terkait dengan pembayaran nafkah anak dan istri, masih belum efektif.
“Putusan perceraian tidak serta-merta mempermudah pemotongan bagian penghasilan mantan suami untuk nafkah mantan istri dan tunjangan pemeliharaan anak. Akibatnya, perempuan dan anak rentan terjebak dalam kemiskinan, bahkan rentan menjadi korban kejahatan,” ungkap Ketua MA dalam keterangannya, Kamis (28/8).
Ia menambahkan persoalan pelaksanaan putusan, termasuk putusan perkara perceraian, merupakan salah satu prioritas Mahkamah Agung yang pelaksanaannya memerlukan dukungan dari pemerintah.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung berinisiatif melakukan dialog secara internal dengan kementerian/lembaga terkait dengan perbaikan perlindungan hak dan pelaksanaan putusan perceraian bagi peningkatan hak perempuan dan anak, termasuk bertukar pengetahuan dan pengalaman dengan badan peradilan di negara lain, yaitu peradilan di Australia dan Malaysia.
Melalui Dialog Yudisial yang dibuat terbuka untuk publik ini, Mahkamah Agung mengajak pemerintah Indonesia, organisasi masyarakat sipil, serta akademisi untuk berdiskusi, menyumbangkan pemikiran yang konstruktif, dan bermanfaat dalam perbaikan mekanisme eksekusi putusan perceraian untuk perlindungan hak perempuan dan anak yang lebih baik.
Hadir dalam dialog ini para narasumber yang berkompeten, yaitu Ketua Hakim Syarie/Ketua Pengarah Jabatan Kehakiman Syariah Dato Dr H Mohd Na’im Bin Mokhtar; FC&FCOA & Brett Walker-Roberts, Child Support Agency, Australia, The Hon Justice Liz Boyle; Ketua Kamar Agama MA Prof Dr Drs H Amran Suadi, S.H., M.Hum, M.M; Ketua Kamar Perdata MA I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H; Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas RM Dewo Broto Joko P, S.H, LL.M; serta Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum, S.T., MIDS.
Selain itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Ratna Susianawati, S.H., M.H; Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KPPPA Rohika Kurniadi Sari, S.H, M.Si; FC&FCOA The Hon Justice Suzy Christie; Hakim Agung Kamar Agama MA Dr Purwosusilo, SH., MH.; Hakim Agung Kamar Perdata MA Maria Anna Samiyati, S.H., M.H.; FC&FCOA The Hon Justice Suzy Christie; Hakim Agung Kamar Agama MA Dr Yasardin, SH., M.Hum; dan Hakim Agung Kamar Perdata MA Dr Nurul Elmiyah, S.H., M.H.
Dalam Dialog Yudisial dua hari ini, disimpulkan bahwa hak pemenuhan perempuan dan anak pascaperceraian belum diatur tersendiri dan perlu mendapatkan payung hukum yang jelas agar memiliki kepastian hukum sehingga pemerintah melalui Bapennas dan kementerian/lembaga terkait harus membuat kebijakan nyata berkaitan perempuan dan anak pascaperceraian.
Selain itu, perlu adanya regulasi yang dapat dijadikan pedoman teknis bagi para hakim di Mahkamah Agung dalam menangani perkara perceraian agar menghasilkan putusan pengadilan yang lebih efektif serta mampu menjamin hak perempuan dan anakpasca perceraian.
Diskusi ini juga menyimpulkan bahwa perlu ada diskusi lanjut dan intensif yang melibatkan hakim, baik dari peradilan agama maupun peradilan negeri, dengan melibatkan para pengampu terkait di antaranya KPPA, Kemenkumham, Kemensos, KPAI, Komnas Perempuan, dan lembaga terkait lainnya tentang perceraian yang disebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).(*ls/Jur/Ded))
Join the Conversation