MENTERI Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan pertumbuhan ekonomi tidak lagi bergantung kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti saat awal pandemi, tapi kembali ke variabel utama, yaitu dari sisi konsumsi, investasi, dan ekspor yang terpantau masih menunjukkan sinyal positif di semester I/2022.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98/2022 yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menaikkan alokasi belanja negara dari semula Rp2.714,2 triliun menjadi Rp3.106,4 triliun. Pemerintah menjadikan APBN sebagai shock absorber untuk menjaga stabilitas dan proses pemulihan ekonomi nasional menjadi respons atas ketidakpastian global dan geopolitik.
“Ini yang menggembirakan karena pertumbuhan ekonomi sekarang tidak tergantung lagi hanya dari sisi APBN. Peran APBN mulai bergeser menjadi instrumen untuk menjaga shock, bukan sebagai lokomotif utama pertumbuhan ekonomi karena sekarang mesin pertumbuhan sudah mulai menyala di konsumsi, investasi, dan ekspor,” tutur Sri dilansir dari Kementerian Keuangan, Selasa (19/7).
Dalam menanggapi itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai langkah pemerintah dalam merespons kondisi tersebut sudah tepat. APBN perlu tetap fleksibel sebagai shock absorber untuk menjaga pemulihan ekonomi.
“APBN itu menjadi shock absorber yang intinya mendorong ataupun menahan agar kondisi perekonomian bisa tidak tertekan, apalagi ketika volatilitas atau dinamika perekonomian global menjadi lebih buruk,” kata Yusuf.
Di sisi lain, Yusuf juga menilai belanja negara masih sangat penting dalam mendorong kelanjutan proses pemulihan di semester II/2022, khususnya belanja perlindungan sosial (perlinsos) dan subsidi, untuk memastikan tren positif pertumbuhan berlanjut hingga akhir tahun.
“Saya pikir ekosistem yang bagus ini juga tidak terlepas dari dukungan belanja APBN yang dilakukan pemerintah,” ujar Yusuf.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pengaturan skala prioritas dari beragam pos belanja sebagai salah satu mitigasi risiko akibat meningkatnya risiko resesi global.
“Pos belanja yang dirasa masih bisa ditunda, terutama di tahun-tahun sebelumnya, saya kira itu bisa ditunda. Sementara itu, pos belanja yang sifatnya esensial penting itu, bisa didahulukan. Juga, sebenarnya kemudian pos yang tidak penting ini dijalankan, tetapi dalam porsi yang lebih kecil,” pungkas Yusuf.
Terkait dengan subsidi, Yusuf berpendapat itu tetap penting dilakukan untuk menjaga daya daya beli masyarakat.
“Ini juga sudah terbukti ketika masyarakat akhirnya harus bisa membeli harga energi yang lebih murah karena beban sisanya itu ditanggung negara,” ungkap Yusuf.
Meski begitu, Yusuf mengatakan implementasi di lapangan masih perlu diperbaiki agar penyaluran subsidi tepat sasaran.
“Yang kemudian menjadi ruang perbaikan adalah bagaimana memastikan bahwa subsidi ini diterima orang yang tepat. Jadi, semakin efisien belanjanya. Juga, akan semakin terbuka lebar bagi pemerintah untuk menurunkan defisit fiskal di 2023,” ucap Yusuf.(*ls/ded)